MAKALAH
“HUKUM ISLAM DAN
PEMBAGIAN HUKUM ISLAM”
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Dirosah Islamiyah III
Dosen Pengampu : Abdul Aziz, S.Ag
Disusun oleh :
HENDRA
Semester : III/A
Prodi : Pend. Matematika
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR
BANTEN
2012
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah, Yang Maha Mengetahui segala apa yang terlintas dalam hati,
Maha Mengetahuisetiap kesulitan dan Maha Mendengar setiap permintaan, berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penyusun makalah yang berjudul “Hukum Islam dan
Pembagian Hukum Islam “ dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat
dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Beserta
keluarganya, sahabatnya dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Makalah
ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Dirosah Islamiyah I yang
dibimbing oleh Bpk. Abdul Aziz, S.Ag. Namun
tidak menutup kemungkinan, makalah ini juga dapat di manfaatkan oleh
mahasiswa/i umumnya, khususnya oleh penyusun sebagai sumber reverensi tambahan
dalam proses pembelajaran.
Tak ada gading yang
tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati,
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna peningkatan
penyusunan makalah dimasa mendatang.
Semoga kita semua
selalu berada dalam naungan dan lindungan Allah SWT. Amiin…….
Pandeglang,
12 Desember 2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR
ISI ................................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3. Tujuan ......................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Hukum
Islam............................................................................................................. 3
2.1
Pengertian Sumber Hukum Islam.................................................................. 3
2.2 Pembagian Hukum Islam............................................................................... 6
2.2.1 Hukum Taqlifi ..................................................................................... 6
2.2.2
Hukum Wadh’I...................................................................................................... 11
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan .................................................................................................. 13
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hukum islam
merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan
konteks tertentu dari as-syariah al
islamy. Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law. Dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
istilah al-hukm al-Islam tidak
ditemukan. Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam, yang kemudian dalam
penjabarannya disebut istilah fiqih. Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum
dimaksud adalah hukum islam. Sebab, kajiannya dalam perspektif hukum islam, maka
yang dimaksudkan pula adalah hukum
syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum
islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam. Apabila
syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam, maka berarti syari’at islam
yang dipahami dalam makna yang sempit. Pada dimensi lain penyebutan hukum islam
selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara, baik yang sudah
terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy
mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah ilmu hukum islam
di Indonesia, istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum
dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah
laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata
islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang
yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat
bagi semua pemeluk agama islam.
Secara garis besar
para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan
hukum wadh’i.
Hukum taqlifi
menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya
yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk
perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan atau
dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan
yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk
melakukan hukum taqlifi).
1.2. Rumusan masalah
- Bagaimana pengertian tentang Hukum Islam?
- Bidang kajian apa sajakah yang erat kaitannya dengan Hukum Islam?
- Bagaimana mengetahui macam-macam Pembagian Hukum Islam?
1.3. Tujuan
- Untuk mengetahui tentang pengertian Hukum Islam
- Untuk mengetahui bidang kajian apa saja yang berkaitan dengan Hukum Islam
- Untuk mengetahui macam-macam Pembagian Hukum Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hukum Islam
2.1
Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah dua kata
dalam bahasa Indonesia yaitu kata "hukum" dan "Islam". Kata
"hukum" dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa Arab yaitu
kataالحكم (al-hukmu) yang merupakan bentuk
singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya adalahالأحكام (al-ahkam). Secara etimologi kata
ini berartiالقضاء (al-qadha) yang bermakna
memutuskan, memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan hukuman, Al-Fairuz
Abady menyatakan bahwa kata الحكم (al- hukmu)
dengan dhamah berartiالقضاء (al-qadha) yaitu mengadili, bentuk jama'nya
adalahالأحكام (al-ahkam). Abdullah bin Shalih
Al-Fauzan dalam Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh menyatakan :
اللحكم لغة : المنع والحكم اصطلاحا :
ما دل عليه خطاب الشرع المتعلق بأفعال المكلفين من طلب او تخيير او وضع
Al-Hukmu secara bahasa adalah mencegah,
sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang menunjukan padanya kehendak
syar'i yang berkaitan dengan amalan-amalan orang yang sudah dewasa (mukallaf)
baik berupa tuntutan kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i.
Nasrun Haroen merinci
pengertian dari kata "al-hukm" dalam beberapa arti, Pertama,,
Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya
bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari. Kedua,
Khitab Allah, seperti “aqimu ash-shalata” dalam hal ini yang
dimaksud dengan hukum adalah nash yang datang dari Syari'. Ketiga,
Akibat dari Khitab Allah, seperti hukum ijab yang dipahami dari
firman Allah “aqimu ash-shalata”. Pengertian ini digunakan para fuqaha
(ahli fiqh). Keempat, Keputusan hakim di sidang pengadilan.
Dari
berbagai pengertian tersebut terlihat adanya makna yang satu yaitu bahwa al-hukm
adalah :
Khitab Allah ta'ala yang berkaitan
dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang berupa tuntutan, pilihan
atau yang bersifat wadh'i”. Pengertian ini menunjukan bahwa hukum adalah
sesuatu yang menjadi tuntutan syara' atas setiap orang-orang yang sudah mukallaf
untuk melaksanakannya, baik hal itu berupa tuntutan, pilihan atau berbagai
sebab yang mengakibatkan adanya hukum tersebut, seperti ahkam al-khamsah yaitu
haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib.
Berbeda dengan makna hukum
sebelumnya, Muhammad Daud Ali menyatakan kata "hukum" berasal dari
bahasa Arab yaitu al-hukm yang berarti kaidah, norma, ukuran, tolok
ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau
perbuatan manusia dan benda. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh M.
Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyatakan “Istilah hukum Islam walaupun berlafadz
Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh
Islam atau Syariat Islam”.
Jika kita cermati, kata
"hukum" dilihat dari asal kata bahasa Arab, maka makna yang sebenarnya
tidaklah sama dengan kata hukum yang telah menjadi bahasa Indonesia. Kata hukum
ini telah mengalami perubahan dan perluasan makna sehingga tidak sesuai lagi
dengan makna bahasa asalnya. Adapun kata yang semakna dengan hukum dalam bahasa
Arab adalah syariah dan fiqh.
Syariah menurut bahasa memiliki beberapa
makna, diantaranya adalahالوارد (al-warid)
yang berarti jalan, ia bermakna pulaنحو الماء yaitu tempat
keluarnya (mata) air. Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau
jalan yang jelas dan terang misalnya ucapaanشرعت له
نهجا (aku
mensyariatkan padanya sebuah jalan). Manna' Khalil Al-Qathan berkata “Syariat
pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum,
kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath
al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber
kehidupan dan keselamatan/kesehatan badan, demikian juga arah dari jalan
yang lurus yang mengarahkan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa
dan pengoptimalan akal mereka
Kata syariah banyak terdapat di dalam Al-Qur'an,
misalnya firman Allah ta’ala dalam QS Al-Jatsiyah : 18
ثُمَّ
جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ
أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.
Makna syariah
pada ayat ini adalah peraturan atau cara beragama. Sedangkan dalam QS Asy-Syura
ayat 13 bermakna memberikan tata cara beragama :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي
أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ
أَقِيمُوا
الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى
الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ
وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi
kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Makna syariah
yang serupa disebutkan dalam QS Al-Syura ayat 21 Allah ta’ala berfirman
:
أَمْ
لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ
وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ
عَذَابٌ
أَلِيمُ
Apakah mereka
mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
Dari beberapa
ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata syariah bermakna peraturan,
agama dan tata cara ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna secara istilah,
karena khitab dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang
beriman agar mereka dapat merealisasikan syariat tersebut.
Secara istilah “syariat” adalah
“Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah
kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady
menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para
hambaNya. Ibnu Mandzur menyatakan bahwa
syariah adalah :
Segala sesuatu yang ditetapkan
Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat
dan amal kebaikan lainnya.
Definisi ini
seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat
secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari Allah ta'ala yang
disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para hambaNya, dan Dia adalah pembuat
syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an. Senada dengan pengertian ini Mahmud Syalthut
mendefinisikannya dengan
"Sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala
dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman
dalam berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia."
2.2 Pembagian Hukum
Islam
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi
hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taqlifi menurut para ahli ushul fiqh adalah
ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan
perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan,
larangan, anjuran untuk tidak melakukan atau dalam bentuk member kebebasan
memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum
wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan
mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taqlifi).
2.2.1
Hukum
Taqlifi
Hukum taqlifi
adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap
seorang mukalap, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu
peristiwa dengan hukum taqlifi. Misalnya, taklifi menjelaskan bahwa shalat
wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’I menjelaskan bahwa waktu
matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang
menunaikan shalat dzuhur.
Hukum Taqlifi
dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf.
Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan
merupakan aktivitas mannusia. Misalnya, seperti dalam contoh diatas tadi
keadaan tergelincir matahari bukana dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan
aktivitasnya. Hubungannya dalam perbuatan manusia hanyalah karena Allah
menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu dzuhur.
1. Wajib
Wajib ialah
sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapatkan
pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanankan diancam dengan dosa.
Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan dalam
arti mengikat setiap mukalaf.
2. Mandub
(sunnah)
Mandub
adalah sesuatu yang dituntut syara’ (agama) memperbuatnya kepada orang mukalaf dengan tuntutan yang
tidak mesti 1.
Menurut
Abdul Karim Zaidan mandub ialah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah
dan rasul-Nya, dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun
tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub dibagi menjadi tiga
bagian :
a. Sunnah Muakkadah (sunnah yang
sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang
ditinggalkannya. Misalnya, shalat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
b. Sunnah Ghair Al-Muakkadah
(sunnah biasa), yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah, yaitu sesuatu yang
dilakukan rasulullah namun buakn menjadi kebiasaannya. Misalnya, melakukan
shalat sunnah dua kali dua rakaat sebelum shalat dzuhur, dan seperti memberikan
sedekah sunnah kepada orang yang tidak dalam keadaan terdesak.
c. Sunnah Al-Zawaid, yaitu
mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan
santunnya dalam makan, minum, dan tidur.
3. Haram
Haram secara
etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara terminology
haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang
melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena menanti Allah,
diberi pahala.
Abdul Karim Zaidan membagi haram
kepada beberapa macam, yaitu:
a. Al-Muharram li Dzatihi,
yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung
kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudian itu tidak bisa terpisah dari
dzanya. Misalnya larangan berzina seperti dalam firman Allah berikut ini.
annisa:23, annisa:29, almaidah :3
Artinya
: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS.al-Isra : 32)
Dalam surat lain
juga ditegaskan mengenai haramnya mengawini orang yang memiliki ikatan
darah(se-muhrim) yang kuat seperti ibu, anak perempuan dll.
Artinya: ”Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)
b. Al-Muharram Li Ghairihi,
yaitu sesuat yang dilarang bukan karena esensinya karena esensial tidak
mengandung kemudaratan, namun dalam kondisis tertentu, sesuatu itu dilarang
karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang
dilarang secara esensial. Misalnya, dilarang melakukan jual beli pada waktu
adzan shalat jum’at sebagaimana firman Allah.
Artinya : “Hai orang-orang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan
mu'azzin telah azan di hari Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi
panggilan mu'azzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.(QS. Al-Jumuah
: 9)
Jual beli
apabila dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan
melakukannya pada waktu adzan jum’at karena akan melalaikan seseorang dari
memenuhi panggilan Allah (shalat jum’t). ketentuan yang berlaku dalam hal ini,
seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, adalah bahwa larangan seperti itu
bilamana dilanggar dan dilaksanakan juga, maka perbuatan itu adalah sah. Jual
beli waktu adzan jum’at adalah sah sebagai sebab perpindahan milik dari penjual
kepada pembeli, namun pelakunya berdosa di sisi Allah.
4. Makruh
Secara bahasa
makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh,
makruh berarti yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, di mana bilamana
ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.
Misalnya, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam Mazhab Hanbali
ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukan air ke hidung secara
berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadahan karena dikhawatirkan
air akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.
Menurut kalangan
Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam
a. Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang
dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarangnya itu bersifat zhani
al-wurud (kebenaran datangnya dari hanya sampai ke dugaan keras), tidak
bersifat pasti. Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan
orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain
kecuali mendapatkan izin atau telah ditinggalkannya.
b. Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang
dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya memakan daging kuda dan
meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang.
5. Mubah
Mubah berarti
“sesuatu yang dibolehkan atau yang di izinkan. Menurut istilah yaitu, sesuatu yang diberi pilih oleh
syariat apakah seorang mukalaf akan melakukannya atau tidak melakukannya dan
tidak ada hukumannya dengan dosa dan pahala.
2.2.2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i berupa
penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taqlifi. Hukum wadh’i
menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda
bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat dzuhur.
1. Sebab
Sebab berarti
“sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut
istilah Ushul Fiqh yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi
adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tindakan adanya hukum. Misalnya,
tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas
pelakunya, keadaan gila menjadi sebab bagi keharusan ada pembimbingnya, dan
tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang
dirampok kepada pemiliknya.
2. Syarat
Syarat berarti “sesuatu yang
menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “ sebagai tanda”. Menurut istilah
sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada di luar
dari hakikat sesuatu itu. Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya
shalat dalam arti adanya shalat trgantung pada adanya wudhu, namunpelaksanaan
wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat.
3. Mani’
Berarti “penghalang dari sesuatu”.
Secara terminology adalah sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang
bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu.
Sebuah akad misalnya dianggap sah
bilamana telah mencukupi syarat-syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai
akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu penghalang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum
Islam adalah
dua kata dalam bahasa Indonesia yaitu kata "hukum" dan
"Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah serapan
dari bahasa Arab yaitu kataالحكم (al-hukmu)
yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya
adalahالأحكام (al-ahkam). Secara
etimologi kata ini berartiالقضاء (al-qadha)
yang bermakna memutuskan, memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan
hukuman, Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata الحكم
(al-
hukmu) dengan dhamah berartiالقضاء (al-qadha)
yaitu mengadili, bentuk jama'nya adalahالأحكام (al-ahkam).
Pembagian Hukum Islam
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taqlifi menurut para ahli ushul fiqh adalah
ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan
perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan,
larangan, anjuran untuk tidak melakukan atau dalam bentuk member kebebasan
memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum
wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan
mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taqlifi.
1. Hukum
Taqlifi
a. Wajib
b. Mandub
(sunnah)
c. Haram
d. Makruh
e. Mubah
2. Hukum
Wadh’i
a. Sebab
b. Syarat
c. Mani’
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.google.com/hukumislamdanpembagiannya. Rabu, 12 Desember 2012
Ali, Zainuddin, Hukum
Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2006
Effendi, Satria. M. Zein, Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana Prenada Media Grouf, 2009