Daftar Blog Saya

2017/03/10

SEKAPUR SIRIH
 MEMBUKA KENANGAN MASA LALU

(Hendra Poetra Hista)


Beranjak dari seorang anak yang lugu, polos dan belum tahu apa-apa. Dengan beriringnya waktu anak itu sekarang sudah beranjak dewasa. Dia terlahir memang bukan dari keluarga berada. tapi karena dengan tekad dan ke sungguhannya ia sekarang dapat meraih cita-citanya. Awalnya dengan segala kekuranganya ia sempat putus asa untuk meraih cita-cita tersebut. tapi karena itulah ia muali bangkit dan mencoba memberanikan diri untuk bisa seperti anak-anak yang lain bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.

Dia bernama Putra dia berasal dari kampung yang mungkin kebanyakan orang tidak tahu di mana kampung itu berada. Dia orang yang tak mau ketinggalan oleh teman-temanya dalam hal pendidikan. dengan segala keterbatasan serta dukungan orang tua yang begitu besar akhirnya selepas ia dari bangku MTs 2008 yang lalu kemudian ia melanjutkan ke jenjang SMA di kota Menes. Yaa... itu adalah salah satu kota pendidikan yang ada di menes segala jenis dan jenjang pendidikan ada di sana. serta siswanya pun berasal dari berbagai wilayah di sekitar pandeglang. Ia merasa senang bisa melanjutkan pendidikannya. di awal ia memasuki dunia SMA ia beserta ke 4 orang temannya di delegasikan oleh gurunya untuk mengikuti seleksi PASKIBRA kecamatan. Seminggu setelah seleksi di umumkanlah nama-nama yang lolos seleksi tersebut dan sernyata salah satunya yang lolos adalah Putra.

selepas pengumuman tersebut Putra pun setiap hari latihan di alun-alun kecamatan. mulai latihan pukul 06.00-17.30 WIB. Sungguh melelahkan memang, tapi ta nampak keluh kesah dari wajahnya yang sudah mulai agak berubah warna kulitnya. setiap pagi dengan penuh semangat ia berangkat menuju medan latihan dengan beban yang di pundak lebih kurang 5kg. Singkat cerita sudah hampir satu bulan ia di tempa di medan latihan ia jatuh sakit. ia pun tak bisa lagi melanjutkan karena saran dari ahli pengobatan medis agar tidak dilanjutkan karena kondisinya yang sangat cukup lemah. akhirnya ia pun tidak bisa ikut mengibarkan Sang Saka Merah Putih tersebut, tapi dengan penuh kebanggan ia dapat menyaksikan teman seperjuangannya dapat mengibarkan bendera Merah putih tersebut sukses terpancang di ujung tiang. 

TERIMA KASIH KAWAN KENANGAN ITU TAK KAN BISA TERLUPAKAN.

2013/05/31

5 (Lima) PERKARA YANG DAPAT MENGUATKAN HAFALAN

  1. Membiasakan berwudhu
  2. Membiasakan Qiyamul Lail (Tahajud)
  3. Taqwa di waktu susah maupun senang
  4. Makan karena taqwa bukan karena nafsu (Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang)
  5. Membiasakan bersiwak dengan kayu susur


(Hendra, dari berbagai sumber)

2013/03/11

Hukum Islam dan Pembagiannya



MAKALAH
“HUKUM ISLAM DAN
PEMBAGIAN HUKUM ISLAM”

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dirosah Islamiyah III
Dosen Pengampu : Abdul Aziz, S.Ag

  
Disusun oleh :
HENDRA

                                                                  Semester      : III/A
                                                                  Prodi           : Pend. Matematika


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR
BANTEN
2012


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Yang Maha Mengetahui segala apa yang terlintas dalam hati, Maha Mengetahuisetiap kesulitan dan Maha Mendengar setiap permintaan, berkat rahmat dan hidayah-Nya, penyusun makalah yang berjudul “Hukum Islam dan Pembagian Hukum Islam “ dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, sahabatnya dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Dirosah Islamiyah I yang dibimbing oleh Bpk. Abdul Aziz, S.Ag. Namun tidak menutup kemungkinan, makalah ini juga dapat di manfaatkan oleh mahasiswa/i umumnya, khususnya oleh penyusun sebagai sumber reverensi tambahan dalam proses pembelajaran.
Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna peningkatan penyusunan makalah dimasa mendatang.
Semoga kita semua selalu berada dalam naungan dan lindungan Allah SWT. Amiin…….


Pandeglang, 12 Desember 2012

Penyusun







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
            1.1. Latar Belakang............................................................................................. 1
            1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
            1.3. Tujuan ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Hukum Islam............................................................................................................. 3
            2.1 Pengertian Sumber Hukum Islam.................................................................. 3
            2.2 Pembagian Hukum Islam............................................................................... 6
                   2.2.1 Hukum Taqlifi ..................................................................................... 6
2.2.2 Hukum Wadh’I...................................................................................................... 11
BAB III PENUTUP
            3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................14












BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy. Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law. Dalam Al-Qur’an dan Sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan. Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam, yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih. Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum islam. Sebab, kajiannya dalam perspektif hukum islam, maka yang dimaksudkan  pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam. Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam, maka berarti syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia, istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taqlifi menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taqlifi).
                                                                                                
1.2. Rumusan masalah
  1. Bagaimana pengertian tentang Hukum Islam?
  2. Bidang kajian apa sajakah yang erat kaitannya dengan Hukum Islam?
  3. Bagaimana mengetahui macam-macam Pembagian Hukum Islam?

1.3. Tujuan
  1. Untuk mengetahui tentang pengertian Hukum Islam
  2. Untuk mengetahui bidang kajian apa saja yang berkaitan dengan Hukum Islam
  3. Untuk mengetahui macam-macam Pembagian Hukum Islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Islam
2.1 Pengertian Hukum Islam
                 Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yaitu kata "hukum" dan "Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa Arab yaitu kataالحكم   (al-hukmu) yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya adalahالأحكام    (al-ahkam). Secara etimologi kata ini berartiالقضاء    (al-qadha) yang bermakna memutuskan, memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan hukuman, Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata الحكم   (al- hukmu) dengan dhamah berartiالقضاء  (al-qadha) yaitu mengadili, bentuk jama'nya adalahالأحكام    (al-ahkam). Abdullah bin Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh menyatakan :

اللحكم لغة : المنع والحكم اصطلاحا : ما دل عليه خطاب الشرع المتعلق بأفعال المكلفين من طلب او تخيير او وضع

Al-Hukmu secara bahasa adalah mencegah, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang menunjukan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan amalan-amalan orang yang sudah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i.
                 Nasrun Haroen merinci pengertian dari kata "al-hukm" dalam beberapa arti, Pertama,, Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari. Kedua, Khitab Allah, seperti “aqimu ash-shalata” dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah nash yang datang dari Syari'. Ketiga, Akibat dari Khitab Allah, seperti hukum ijab yang dipahami dari firman Allah “aqimu ash-shalata”. Pengertian ini digunakan para fuqaha (ahli fiqh). Keempat, Keputusan hakim di sidang pengadilan.  
           Dari berbagai pengertian tersebut terlihat adanya makna yang satu yaitu bahwa al-hukm  adalah :
Khitab Allah ta'ala yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang berupa tuntutan, pilihan atau yang bersifat wadh'i”. Pengertian ini menunjukan bahwa hukum adalah sesuatu yang menjadi tuntutan syara' atas setiap orang-orang yang sudah mukallaf untuk melaksanakannya, baik hal itu berupa tuntutan, pilihan atau berbagai sebab yang mengakibatkan adanya hukum tersebut, seperti ahkam al-khamsah yaitu haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib.
                 Berbeda dengan makna hukum sebelumnya, Muhammad Daud Ali menyatakan kata "hukum" berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm yang berarti kaidah, norma, ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyatakan “Istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat Islam”.
                 Jika kita cermati, kata "hukum" dilihat dari asal kata bahasa Arab, maka makna yang sebenarnya tidaklah sama dengan kata hukum yang telah menjadi bahasa Indonesia. Kata hukum ini telah mengalami perubahan dan perluasan makna sehingga tidak sesuai lagi dengan makna bahasa asalnya. Adapun kata yang semakna dengan hukum dalam bahasa Arab adalah syariah dan fiqh.
                 Syariah menurut bahasa memiliki beberapa makna, diantaranya adalahالوارد    (al-warid) yang berarti jalan, ia bermakna pulaنحو الماء   yaitu tempat keluarnya (mata) air. Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang misalnya ucapaanشرعت له نهجا   (aku mensyariatkan padanya sebuah jalan). Manna' Khalil Al-Qathan berkata “Syariat pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan keselamatan/kesehatan  badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka
Kata syariah banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, misalnya firman Allah ta’ala  dalam QS Al-Jatsiyah : 18  
 ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
                 Makna syariah pada ayat ini adalah peraturan atau cara beragama. Sedangkan dalam QS Asy-Syura ayat 13 bermakna memberikan tata cara beragama : 

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا
الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
              Makna syariah yang serupa disebutkan dalam QS Al-Syura ayat 21 Allah ta’ala berfirman :  

أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
              Dari beberapa ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata syariah bermakna peraturan, agama dan tata cara ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna secara istilah, karena khitab dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman agar mereka dapat merealisasikan syariat tersebut.
              Secara istilahsyariat adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya. Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah :
Segala sesuatu yang ditetapkan  Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.
                 Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para hambaNya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an. Senada dengan pengertian ini Mahmud Syalthut mendefinisikannya dengan "Sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia."

2.2 Pembagian Hukum Islam
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taqlifi menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taqlifi).

2.2.1        Hukum Taqlifi
Hukum taqlifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalap, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taqlifi. Misalnya, taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’I menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat dzuhur.
Hukum Taqlifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas mannusia. Misalnya, seperti dalam contoh diatas tadi keadaan tergelincir matahari bukana dalam kemampuan  manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya dalam perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu dzuhur.
1.      Wajib
Wajib ialah sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapatkan pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanankan diancam dengan dosa.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat setiap mukalaf.
2.      Mandub (sunnah)
Mandub adalah sesuatu yang dituntut syara’ (agama) memperbuatnya  kepada orang mukalaf dengan tuntutan yang tidak mesti 1.
Menurut Abdul Karim Zaidan mandub ialah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan rasul-Nya, dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub dibagi menjadi tiga bagian :
a.       Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Misalnya, shalat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
b.      Sunnah Ghair Al-Muakkadah (sunnah biasa), yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah, yaitu sesuatu yang dilakukan rasulullah namun buakn menjadi kebiasaannya. Misalnya, melakukan shalat sunnah dua kali dua rakaat sebelum shalat dzuhur, dan seperti memberikan sedekah sunnah kepada orang yang tidak dalam keadaan terdesak.
c.       Sunnah Al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santunnya dalam makan, minum, dan tidur.


3.      Haram
Haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara terminology haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menanti Allah,  diberi pahala.
Abdul Karim Zaidan membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
a.       Al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudian itu tidak bisa terpisah dari dzanya. Misalnya larangan berzina seperti dalam firman Allah berikut ini. annisa:23, annisa:29, almaidah :3
http://www.pencerahanhati.com/uploads_admin/uploads_surah/17_32.jpg

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS.al-Isra : 32)
Dalam surat lain juga ditegaskan mengenai haramnya mengawini orang yang memiliki ikatan darah(se-muhrim) yang kuat seperti ibu, anak perempuan dll. 

Artinya: ”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)

b.      Al-Muharram Li Ghairihi, yaitu sesuat yang dilarang bukan karena esensinya karena esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisis tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya, dilarang melakukan jual beli pada waktu adzan shalat jum’at sebagaimana firman Allah.

Artinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan mu'azzin telah azan di hari Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan mu'azzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.(QS. Al-Jumuah : 9)
Jual beli apabila dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan melakukannya pada waktu adzan jum’at karena akan melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah (shalat jum’t). ketentuan yang berlaku dalam hal ini, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, adalah bahwa larangan seperti itu bilamana dilanggar dan dilaksanakan juga, maka perbuatan itu adalah sah. Jual beli waktu adzan jum’at adalah sah sebagai sebab perpindahan milik dari penjual kepada pembeli, namun pelakunya berdosa di sisi Allah.
4.      Makruh
Secara bahasa makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, makruh berarti yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, di mana bilamana ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misalnya, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam Mazhab Hanbali ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukan air ke hidung secara berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadahan karena dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam
a.       Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarangnya itu bersifat zhani al-wurud (kebenaran datangnya dari hanya sampai ke dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain kecuali mendapatkan izin atau telah ditinggalkannya.
b.      Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang.
5.      Mubah
Mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau yang di izinkan. Menurut  istilah yaitu, sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukalaf akan melakukannya atau tidak melakukannya dan tidak ada hukumannya dengan dosa dan pahala.



2.2.2.      Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taqlifi. Hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat dzuhur.

1.      Sebab
Sebab berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tindakan adanya hukum. Misalnya, tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.

2.      Syarat
Syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “ sebagai tanda”. Menurut istilah sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu. Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat trgantung pada adanya wudhu, namunpelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat.
3.      Mani’
Berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminology adalah sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu.
Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telah mencukupi syarat-syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu penghalang.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yaitu kata "hukum" dan "Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa Arab yaitu kataالحكم   (al-hukmu) yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya adalahالأحكام    (al-ahkam). Secara etimologi kata ini berartiالقضاء    (al-qadha) yang bermakna memutuskan, memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan hukuman, Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata الحكم   (al- hukmu) dengan dhamah berartiالقضاء   (al-qadha) yaitu mengadili, bentuk jama'nya adalahالأحكام    (al-ahkam).
Pembagian Hukum Islam Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum taqlifi menurut para ahli ushul fiqh adalah ketentuan-ketentuan Allah dan rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan atau dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taqlifi.
1.      Hukum Taqlifi
a.       Wajib
b.      Mandub (sunnah)
c.       Haram
d.      Makruh
e.       Mubah
2.      Hukum Wadh’i
a.       Sebab
b.      Syarat
c.       Mani’

DAFTAR PUSTAKA

            http://www.google.com/hukumislamdanpembagiannya. Rabu, 12 Desember 2012
Ali, Zainuddin, Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2006
Effendi, Satria. M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Grouf, 2009